Ciri-Ciri Obesitas Lansia
Orang lanjut usia (lansia), pendeteksian obesitas dengan cara mengukur indeks massa tubuh dianggap kurang tepat. Cara terbaik adalah dengan mengukur lingkar pinggang dan panggul.
Indeks massa tubuh (IMT) yang diperoleh dari menghitung berat badan (kg) dibagi tinggi badan kuadrat (m2) selama ini kerap dijadikan patokan rumus mengukur obesitas. Untuk orang di kawasan Asia-Pasifik, kisaran normal IMT adalah 18,5-22,9 kg/m2.
Lebih dari itu termasuk kelompok berisiko, dan bila IMT di atas 25 kg/m2 disebut obesitas. Namun, orang yang kegemukan acap kali berdalih bobot badannya yang berat karena tulang-tulangnya yang besar.
Kesulitan lainnya adalah manakala seseorang telah memasuki masa lanjut usia. Seiring bertambahnya usia, lansia biasanya mengalami perubahan bentuk dan ukuran tubuh. Pada kondisi demikian, hasil pengukuran IMT dianggap tidak akurat lagi untuk menentukan tingkat obesitas pada lansia. Selain itu, IMT tidak bisa mencerminkan distribusi timbunan lemak dalam tubuh.
Pernyataan tersebut dikemukakan Dr Preethi Srikanthan dan timnya dari David Geffen School of Medicine di UCLA, Los Angeles, California, AS.
Dalam paparan yang diterbitkan jurnal the Annals of Epidemiology edisi terbaru, mereka mengungkapkan bahwa penggunaan IMT tidak mencerminkan gambaran sesungguhnya apakah seorang lansia mengalami obesitas atau tidak.
Srikanthan dan timnya lantas merekomendasikan pengukuran lingkar pinggang dan pangkal paha yang dinilai lebih tepat dan akurat dalam penentuan obesitas pada lansia.
Kesimpulan tersebut didapat Srikanthan setelah melakukan riset terhadap 1.189 partisipan pria dan wanita dengan usia rata-rata lebih dari 70 tahun. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis data-data partisipan sejak tahun 1988 hingga tahun 2000.
Selama kurun waktu tersebut, diketahui terdapat 492 sukarelawan yang meninggal. Awalnya Srikanthan dan tim tidak menemukan keterkaitan antara risiko kematian dengan IMT.
Namun, berdasarkan analisis data selama kurun 12 tahun tersebut, mereka berhasil menemukan rasio dari lingkar pinggang dan lingkar panggul yang bisa menjadi salah satu faktor risiko. Mengingat lingkar pinggang umumnya lebih kecil dibanding lingkar panggul, seharusnya angka rasio tersebut kurang dari satu (1).
Berdasarkan analisis data jika rasio makin mendekati angka satu atau bahkan lebih dari satu, risiko kematian pun meningkat. Selama ini, kebanyakan orang masih mengabaikan pentingnya pengukuran lingkar pinggang.Padahal, caranya sangat mudah. Cukup gunakan tali meteran seperti yang digunakan penjahit. Sebagai patokan, pinggang berukuran lebih dari 90 cm adalah tanda "bahaya" bagi pria.
Sedangkan untuk wanita, risiko meningkat bila lingkar pinggang lebih dari 80 cm. Mengapa area pinggang yang dipilih sebagai barometer kesehatan? Rupanya ini terkait dengan obesitas sentral, yaitu timbunan lemak di rongga perut. Adanya timbunan lemak di perut tercermin dari meningkatnya lingkar pinggang.
Ahli gizi Dr Endang Darmoutomo MS SpGK menuturkan, jaringan lemak tubuh yang merupakan tempat deposit kelebihan kalori, terutama di bagian dalam rongga perut, dapat mengganggu kerja insulin (resistensi insulin). Padahal, gangguan lemak darah dan resistensi insulin dapat mengakibatkan kumpulan gejala yang disebut sindrom metabolik. Ini bisa dikenali dari tanda-tanda seperti obesitas sentral, hipertensi, dislipidemia dan meningkatnya gula darah puasa.
Menurut Endang, kondisi tersebut akan memicu terjadinya diabetes dan menimbulkan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), yang pada akhirnya meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke. Di sisi lain, terdapat kaitan antara lingkar pinggang dan sejumlah protein yang dihasilkan sel lemak.
Antara lain adiponektin yang merupakan protein "baik" pengatur keseimbangan kadar gula dan penghambat aterosklerosis. Lingkar pinggang tinggi disinyalir berkaitan dengan adiponektin yang rendah(hipoadiponektinemia) yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner.
Anda juga pasti sudah mengenal konsep kolesterol "baik" (HDL) dan kolesterol "jahat" (LDL),serta kolesterol total. Kondisi sehat diindikasikan dari level HDL lebih dari 45 mg/dl,dan level LDL kurang dari 130 mg/dl, serta kolesterol total kurang dari 200 mg/dl.
Semakin banyak timbunan lemak di rongga perut, akan diikuti tingginya kolesterol LDL dan kolesterol total. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kadar LDL, semakin panjang ikat pinggang orang tersebut. Sebaliknya, semakin panjang ikat pinggang seseorang, makin rendah kadar HDL-nya.
Nah, guna meningkatkan kadar HDL bisa ditempuh dengan memperbanyak aktivitas fisik dan menurunkan berat badan. Sebuah penelitian membuktikan, senam aerobik yang membakar 6 kilo kalori per menit selama satu jam, 3-4 kali/ minggu dalam kurun waktu 6 bulan, dapat meningkatkan HDL sebesar 33 persen.
Sementara itu, seorang peneliti dari Prancis,Dr Xavier Jouven dan timnya, juga pernah melakukan penelitian dengan cara mengukur IMT dan lingkar pinggang dari 7000 polisi Prancis yang meninggal antara tahun 1967-1984 akibat serangan jantung. Hasilnya, para pria berperut buncit memiliki kemungkinan meninggal lebih cepat. Dari situ ditarik suatu kesimpulan bahwa risiko meninggal mendadak meningkat karena kepadatan lemak di perut.
Selain itu, penelitian tersebut juga mendapati bahwa ternyata orang-orang dengan IMT tinggi tidak berisiko meninggal dini kecuali mereka yang memiliki lingkar pinggang besar. Berbeda dengan wanita (yang banyak menumpuk lemak di area pinggul pantat dan paha), kaum adam cenderung lebih rentan mengalami kelebihan lemak di pinggang dan perut atau disebut juga obesitas sentral.
Umpama buah, gemuk pada pria umumnya seperti buah apel (android),sedangkan kegemukan pada wanita menyerupai buah pir.
0 Responses to "Ciri-Ciri Obesitas Lansia"
Posting Komentar
Jika Ada Pertanyaan , Silahkan Ditanyakan